Berkesempatan untuk menginjakan kaki kurang dari 24 jam di Banda Aceh gak pernah gue bayangkan sebelumya, karena mungkin Aceh memang bukan salah satu destinasi wisata yang se terkenal Bali maupun daerah lain di Indonesia.
Ada apa aja di Aceh?
Berawal dari pesawat delay 2 jam yang membuat gue berangkat dari Jakarta jam 2 siang dan tiba di Aceh jam 5 sore. Perjalanan ke Aceh dari Jakarta di tempuh sekitar 2 jam 50 menit.
“Rame Banget”, itu kesan pertama seketika gue menginjakan kaki di bandara Sultan Iskandar Muda. Bandara nya tidak terlalu besar, mungkin hampir sama dengan bandara di Yogyakarta, jadi terdapat banyak penumpukan penumpang ditambah dengan conveyor belt di bandara ternyata lagi rusak hari itu, jadinya koper di anter manual sama petugas bandara yang membuat makin rame orang – orang mencari dan rebutan ngambil koper.
Dari airport gue langsung menuju ke hotel untuk check in di Hotel Kyriad Muraya yang surprisingly cukup modern dan bagus menurut gue. Gak lama setelah check in sekitar jam setengah 8 malam gue menuju salah satu ikon kota Aceh yaitu Masjid Raya Baiturrahman.
Masjid ini menjadi terkenal gak hanya karena bangunan nya yang megah, tapi bangunan ini adalah salah satu bangunan yang berhasil selamat dari terjangan tsunami tahun 2004 lalu.
Lanjut ke destinasi berikutnya, gak lengkap kalau ke Aceh tapi gak nyobain makanan khas disini yaitu Mie Aceh.
Salah satu tempat yang terkenal adalah Mie Razali, terbukti dengan rame nya tempat ini padahal sudah malam. Gue harus nunggu sekitar 30 menit sebelum dapat tempat duduk.
Selain Mie Aceh ada juga tempat ngopi yang terkenal disini yaitu “Kupi Khop”
Tempat ini terkenal karena penyajian kopi terbaliknya yang unik.
Tujuan kenapa kopi nya di balik konon katanya agar kopinya tetap bisa panas walaupun tidak langsung di minum, dan ampas kopinya tidak tercampur dan terminum sama kita.
Cara minumnya juga unik, jadi kita harus meniup melalui sedotannya dulu agar kopinya keluar ke piring di sekitarnya, lalu dengan sedotan yang sama baru kita minum kopi yang sudah keluar di piringnya.
Jujur kopinya beneran enak, ini jadi salah satu kopi favorit di list kopi daerah gue.
Dikarenakan waktu yang sudah malam, gue gak bisa berkeliling ke banyak destinasi di hari pertama.
Lanjut keesokan harinya gue memulai perjalanan dengan mengunjungi Museum Tsunami Aceh.
Perlu di ingat kalau museum ini tutup setiap jam 12 – 2 siang untuk istirahat makan siang dan juga tutup di hari Senin, jadinya make sure dulu jangan kesini di waktu – waktu itu ya.
Bangunan museum ini cukup megah dengan arsitektur modern, kalian hanya perlu merogoh kocek sebesar 3.000 rupiah untuk tiket masuknya. Ok, kita bahas apa aja yang ada di museum ini.
Disini terdapat 4 bagian utama yang bisa kalian kunjungi.
1. Lorong Tsunami
Setelah membayar tiket masuk, kalian dapat masuk ke museum ini dengan ngelewatin sebuah lorong gelap dengan air mengalir di kanan kiri lorong dengan background suara doa dan musik yang cukup mencekam. Jadi nya lorong pertama ini untuk menggambarkan suasana saat terjadi nya bencana tsunami di tahun 2004 lalu.
Jujur lorong ini beneran serem, bahkan di depan lorong ini diberi peringatan buat pengunjung yang memiliki penyakit asma atau jantung untuk berhati – hati. Kalian akan bener – bener bisa ngerasain suasana seram nya dan di tambah akan ada percikan dan tetesan air dari atas lorong yang akan jatuh ke kalian selama melewati lorong ini.
2. Ruang Sumur Doa
Setelah melewati lorong Tsunami, kita akan di suguhkan dengan goa sedalam 32 meter dengan tulisan 4.000 nama korban tsunami di sepanjang tembok dengan suara doa menggema di sekeliling goa on repeat.
3. Ruang Pamer Temporer
Bagian ini menunjukan karya – karya modern tentang kejadian tsunami.
Setelah itu kita akan melewati lorong dengan berbagai bukti peninggalan barang – barang yang hancur atau rusak akibat tsunami.
4. Ruang Geologi dan Ruang Pendidikan
Ruangan ini menunjukan replika tenda – tenda pengungsi saat kejadian tsunami juga dengan berbagai tokoh – tokoh bangsa yang berjasa membantu pemulihan di Aceh.
Berjalan ke ruang berikutnya, kita di suguhkan dengan berbagai informasi tentang tsunami, bagaimana bisa terjadi, bagaimana cara menganggulangi nya dan masih banyak lagi.
Secara keseluruhan bangunan museum ini besar dan informatif banget, cuma sayang ada beberapa bagian yang terkesan sudah tidak terawat, banyak yang karatan dan berdebu. Semoga kedepannya museum ini bisa tetep di jaga ya.
Setelah dari Museum Tsunami Aceh, tidak jauh dari sana terdapat “Situs Tsunami PLTD Apung”. Dahulu PLTD ini menjadi salah satu pembangkit tenaga listrik yang cukup terkenal, namun sekarang sudah beralih fungsi menjadi objek wisata.
Sayangnya saat gue sampe, bertepatan dengan jam makan siang, jadinya gue gak bisa melihat kedalam lokasi ini. Maka dari itu gue langsung menuju lokasi berikutnya “Kapal Lampulo/Kapal di Atas Rumah”
Kapal ini menjadi terkenal karena saat kejadian tsunami Kapal Lampulo ini terhempas dan berlabuh di salah satu atap rumah warga dan berhasil menyelamatkan 59 jiwa saat musibah ini terjadi.
Tidak ada tiket masuk untuk lokasi ini, namun jangan kaget karena lokasinya memang berada di tengah – tengah komplek warga dengan gang yang cukup kecil.
Dan perjalanan di Aceh pun ditutup dengan mencicipi “Ayam Tangkap” yang menjadi salah satu kuliner khas di Aceh yang terkenal.
Ini adalah olahan ayam kampung yang digoreng dengan daun – daun dan bawang.
Menghabiskan waktu hanya 22 jam di Aceh cukup menyenangkan, ada budaya dan tradisi unik yang mungkin gak bisa kita rasain di kota lain di Indonesia. Semoga bisa punya kesempatan lagi buat mengunjungi Aceh dengan waktu yang lebih lama sehingga bisa menjelajah ke destinasi – destinasi wisata lain yang ada disini terutama Sabang!
Selamat Berpetualang! Cheers!
(23/10/19 – 24/10/19)